Jam menunjukkan pukul 8 pagi, mata masih terasa berat karena perbincangan yang cukup larut dengan salah satu pendaki gunung asal Palembang. Perbincangan yang aku rasa berat sebelah. Disatu sisi ia terlalu membangga banggakan apa yang ia jalani di Bandung namun juga ia memberi ilmu pendakian ke saya. Di lain sisi aku yang sedikit ingin bercerita tentang perjalanan selama di Bandung namun hanya digubris sebelah mata. Memang masih belum aku temukan orang yang pas untuk diajak ngobrol bareng dan dimasing masing sisi merasa cocok. Ya memang hidup di tanah yang budaya dalam hidupnya tergolong heterogen cukup sulit. Menemukan teman yang berasal dari satu pemikiran dan berasal dari satu budaya masih perlu waktu dan penjelajahan yang lama.
Situasi pagi yang agak kesiangan ini cukup menganggu tidur
nyenyak akibat hawa dinginnya Bandung. Dua turis jerman sudah mandi dan siap
untuk memulai penjelajahan mereka hari ini. Begitu juga dengan beberapa
backpacker lainnya dengan kesibukannya sendiri di pagi hari. Menyiapkan fisik
juga menenangkan pikiran sembari bercengkerama dengan sesame turis asing
lainnya. Dua wanita jerman berencana hari ini akan ke semarang dengan bis.
Sedikit saran dan masukan saya berikan seketika itu pula tanda tanya dan rasa
cemas berada diraut muka mereka yang muda.
Setelah pagi yang cukup menjengkelkan dengan dua bule yang
aku cap dengan sebutan bule yang matre berselang aku mulai melangkah ke jalanan
kota Bandung. Bagaimana tidak kucap sebagai “matre” untuk beberapa alasan yang
hanya diketahui oleh dua wanita dengan paras yang membuat beberapa pria
diwajibkan menelan ludah ini hanya mau berbicara dengan mereka yang berada
diluar lingkaran garis Backpacker yang melanglang buana ketempat yang bahkan
oleh siBackpacker sendiri tidak tahu untuk melihat realita yang lebih nyata
disbanding gambar di google. Kedua wanita ini seakan akan ingin menyembelih
keadaan pria pria jomblo yang ingin mencoba mematahkan label yang dicap ke
mereka sendiri. Termasuk saya. Walaupun saya tidak kategori jomblo. Hehehehe.
Dibalik itu semua, mereka hanya bercakap cakap dengan pria yang masuk dalam
golongan “TOURIST”. Ironi bagi jomblo berkantong pas pas an? IYA! Tapi ini
kembali mengajarkanku suatu hal. Terlepas dari bagaimanapun paras indah seorang
wanita yang menjadi daya jualnya terhadap kaum adam terkedang memang sering
kali dinomor duakan setelah pria mengenal siwanita lebih dekat. Bukannya apa,
hanya saja sebuah hubungan yang dijalin dua makhluk dengan kasta tertinggi yang
sistemnya dibuat oleh makhluk itu sendiri kedepannya akan mengakibatkan ikatan
emosional kuat yang berujung pada suatu hipotesis bahwa paras bukan segalanya.
Adanya ikatan emosional tadi membuat kedua ekor makhluk ini semakin mengenal
antara satu dengan yang lainnya, hingga membuka tabir yang orang biasa tahu.
Okay, paragraph sebelumya sedikit berlari menlenceng dari
kalimat pertama tadi yang seharusnya jadi ppokok pikiran.
Setelah berbincang dengan anita ini aku mulai menjelajah ke
depan Stasiun Kota Bandung. Targetku hari ini adalah menempatkan pencapaian
diriku melebihi perkiraan mas mas yang bahkan hingga tulisan ini selesai tidak
aku tahu namanya. Soalnya malam sebelumnya aku dibuatnya seakan akan tidak
berkutik. Dia terlalu membangga bangga kan dirinya sendiri. Ia tidak mau
mendengar omongan orang lain selain dirinya sendiri. Lalu apa yang dapat
membuat cakap dia tadi berhembus kosong? Ya. Tindakan. Dari sebuah tindakan dia
akan yakin sesungguhnya masih banyak orang orang yang memiliki niat yang lebih
besar disbanding dia. Bukannya aku mau cakap sombong dalam blog ini. Aku hanya
ingin menuangkan pemikiran pribadi seorang mahasisa 2015 UNSOED dalam sebuah
blog yang berisi pengalaman hidup atau kalau saya mendefinisikannya lebih tepat
lagi sebagai life achievement today. Disamping ada keinginan untuk berbagi
pandangan terhadap orang orang sekitar, saya ingin memberi aspirasi dari
pemikiran saya sendiri yang terkadang atau bahkan keseringan tergolong abstrak.
Kembali lagi ke topik. Aku mulai menyusuri jalanan di Kota
Bandung. Terlalu banyak realita yang harus orang lain perhatikan didunia
Bandung ini. Dibalik gemerlapnya malam disini, masih banyak mereka yang
merupakan warga asli Bandung maupun pendatang yang hidup dihimpit kejamnya
hidup. Dibalik setiap sarana dan prasarana yang dibangun pemerintah yang memang
bertujuan untuk mengenalkan Bandung sebagai kota yang “worthed” untuk
menghabiskan dana gaji yang dihimpun berbulan bulan masih banyak kesenjangan
disudut sudut kota yang terpinggirkan secara sendirinya. Masih banyak
pendidikan yang tidak merata bagi mereka yang tersisih. Namun terlepas dari itu
semua keramahan neng neng geulis memang tidak bisa dipukul rata begitu saja.
Hidup dalam pergaulan hidup yang bebas tidak membuat beberapa masyarakat lokal
atau sekitaran yang meninggalkan kebaikan dari dalam dirinya. Memang hidup di
Indonesia cukup berat untuk dijadikan satu judul karena keberagaman yang sulit
untuk kamu liat di tempat lain bung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar